Sebuah kisah hikmah tentang Sayyid Sholeh bin Muhammad Al-Ja’fari yang doa makbulnya dalam ibadah Haji “dibatalkan” oleh keinginan ibunya sendiri. Kisah ini bermula ketika beliau pertama kali melakukan ibadah Haji tahun 1952, di depan Ka’bah beliau berdoa kepada Allah agar memperkenannya untuk bisa pergi Haji setiap tahun, dan benar doa beliau diijabah.
Setiap tahun hingga wafatnya beliau selalu berangkat Haji, kecuali
pada musim Haji tahun 1962. Situasi tahun itu benar-benar rumit dan
tidak memungkinkan beliau untuk berangkat dari Kairo ke Makkah. Beliau
kemudian pergi ke Sudan dan bermaksud berangkat ke Makkah dari sana.
Namun ternyata kondisi untuk pergi dari Sudan ke Makkah pun sama
tidak memungkinkan. Setelah berbagai upaya dirasa sulit, beliau akhirnya
memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Dunqula, Sudan, karena
kebetulan beliau sedang berada di Sudan.
Ketika sampai di rumah, di depan pintunya ibunya tiba-tiba memeluk
beliau dan berkata, “Maafkan ibu nak. Ibu telah membeli seekor domba
tahun lalu untuk dikurbankan tahun ini, dan ibu berdoa kepada Allah
supaya engkau bisa mencicipi masakan ibu dari daging kurban itu.” Maka
mengertilah Sayyid Sholeh mengapa tahun ini beliau sulit pergi Haji
hingga akhirnya batal sama sekali.
Demikianlah hebatnya doa seorang ibu yang lebih hebat dari doa
seorang Ulama bahkan Wali sekalipun. Rasulullah pernah bersabda,
“Kedudukan doa seorang ibu untuk anaknya, laksana kedudukan doa seorang
Nabi untuk umatnya.”
Sayyid Sholeh Al-Ja’fari adalah Ulama dan Wali besar pendiri Thariqah
Al-Ja’fari serta Imam dan Khatib di Masjid Al-Azhar, Mesir. Beliau yang
masih keturunan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ini merupakan
guru dari Ulama-ulama besar dunia. Diantara muridnya yang terkenal
adalah Syeikh Ali Jum’ah dan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.
SEBUTLAH namanya Fulan. Sosok pendidik yang sangat saya idolakan di
sebuah Sekolah Menengah Atas, tempat saya menimba ilmu di Maluku.
Banyak faktor yang menjadi daya
tarik bagi saya pribadi kepada beliau dibanding guru-guru yang lain.
Bersahabat, santun, hormat kepada
yang muda, inspiratif, adalah di antara karakter yang menurut saya melekat pada
sosok beliau.
Suatu hari, semasa saya duduk
di kelas dua, Ustadz Fulan menyampaikan motivasi di depan murid-murid. Tema
yang diangkat tentang kemuliaan menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada
khalayak umum.
Pesan yang sangat melekat di benak,
beliau bertutur; bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak
memberikan manfaat bagi orang lain.
Guru, masih kata Ustadz Fulan,
adalah profesi yang sangat strategis untuk mengewajantahkan visi itu.
“Karena itu, kalian harus semangat
belajar. Jangan berhenti sekolah. Harus lanjut ke perguruan tinggi,” sengatnya.
Pesan itu benar-benar menjadi
penyulutku untuk terus belajar, dan bertekat melanjutkan studi. Sekalipun
saya menyadari, keinginanku itu akan berbentur dengan kondisi finansial
orangtua.
Ya. Orangtuaku hanyalah seorang
petani biasa. Penghasilannya pas-pasan untuk kebutuhan hidup. Bahkan seringnya
kekurangan.
Namun, kondisi itu sama sekali tak
mampu meredam api semangat belajarku waktu itu.
Setelah lulus SMA, kuberanikan diri
untuk mendaftar kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam negeri. Tes.
Alhamdulillah diterima.
Persoalannya ada pada biaya.
Total yang dibutuhkan Rp 1.300.000. Kukabarkan hal itu ke rumah.
Alhamdulillah, tepat sekali waktu itu kedua orangtua mendapat kelonggaran
rezeki. Namun, mereka mengaku tak mampu kalau harus memenuhi total biaya yang
diperlukan.
“Bapak hanya bisa memberi uang
sejuta rupiah,” kata bapak, dari seberang telepon.
“Enggak apa-apa, Pak. Insya
Allah nanti saya akan cari tambahannya,” jawabku meyakinkan, agar keduanya
tenang.
Bagaimana langkahku menggenapkan
uang pendaftaran dan semesteran itu?
Setelah berdiskusi dengan beberapa
teman akrab, diputuskanlah untuk mengamen.
Sebagai informasi, sejak duduk di
bangku SMA, saya memiliki beberapa teman akrab, dimana kami terus duduk
sekelas. Sampai kuliah.
Untuk mengikat tali hubungan, kami
pun membuat organisasi. Saya ditunjuk sebagai sekretaris. Tugasku mengurus
keadministrasian.
Tidak hanya tempat kuliah, ngekos
pun kami bareng. Jadi semakin kloplah kami. Saling membantu ketika dalam
kesulitan.
Kesehari-harian teman-temanku itu
mengamen untuk menyambung hidup. Dari situlah kami, termasuk saya sendiri,
menyandarkan keperluan sehari-hari, misal makan, termasuk membayar kos-kosan.
Namun kenyamananku terusik. Saya
merasa bahwa aktivitas mengamen sama dengan meminta-minta.
Akhirnya, ketika hendak naik ke
semester tiga, kuputuskan untuk keluar kuliah. Terlebih mendapati kenyataan,
saya tidak punya sama sekali uang guna membayar pendaftaran ulang dan semester
lanjutan kuliah.
Merantau ke Jawa
Sedih itu sudah pasti, mendapati
mimpi melanjutkan studi patah di tengah jalan. Tapi apa mau dikata, keadaan
memaksa demikian.
Tapi yang menjadi peganganku, selama
ada niat kebaikan, Allah akan menunjukkan jalan keluarnya. Meski saya sendiri
tidak mampu menerka.
Dan benar. Selepas beberapa lama
keluar dari kuliah dan sempat melabuhkan diri di sebuah pesantren di Maluku,
tanpa diduga, Allah mempertemukan saya dengan seorang ustadz asal Jawa, yang
aktif di salah satu organisasi Islam.
Panjang lebar kami
mengobrol. Mungkin karena menangkap hasrat besar belajarku dalam diskusi
ringan itu, pada akhirnya sang ustadz mengajukan tawaran kepadaku untuk
melanjutkan kuliah di Jawa.
Katanya, di sana ormas tempatnya
mengabdikan diri, menyediakan beasiswa full bagi mereka yang
berprestasi. Mulai dari dana kuliah, makan, hingga tempat tinggal.
Nyessss….
Rasanya lapang sekali dada mendapat
kabar gembira itu. Terlebih, soal biaya keberangkatan, ustadz itu pun berujar
hendak memberikan bantuan semampunya.
Mendengar itu, Saya benar-benar
bahagia. Saya merasakan Allah benar-benar telah menunjukkan kuasa-Nya padaku,
bahwa Dia akan senantiasa memberi kemudahan bagi setiap hamba-Nya yang
mengharapkan kebaikan.
Singkat kisah. Setelah melalui
berbagai tes yang diselenggarakan, Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus.
Saat ini saya masih duduk di
semester awal. Perjalanan masih panjang. Mohon doa, semoga ilmu yang saat ini
saya pelajari di institusi kesayanganku ini, bermanfaat bagiku, keluarga, dan
umat Islam ke depannya. Amiin.* Sebagaimana yang dikisahkan Abdul Mujahid,
asal Maluku, kepada Khairul Hibri